Menyambut
Ramadhan, banyak acara digelar kaum muslimin. Di antara acara tersebut
ada yang telah menjadi tradisi yang “wajib” dilakukan meski syariat
tidak pernah memerintahkan untuk membuat berbagai acara tertentu
menyambut datangnya bulan mulia tersebut.
Puasa Ramadhan
merupakan salah satu dari kewajiban puasa yang ditetapkan syariat yang
ditujukan dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah
subhanallahu wata’ala. Hukum puasa sendiri terbagi menjadi dua, yaitu
puasa wajib dan puasa sunnah. Adapun puasa wajib terbagi menjadi 3:
puasa Ramadhan, puasa kaffarah (puasa tebusan), dan puasa nadzar.
Keutamaan Bulan Ramadhan
Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al Qur’an. Allah subhanallahu wata’ala berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“Bulan
Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur`an
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil).” (Al-Baqarah:
185)
Pada bulan ini para setan dibelenggu, pintu neraka ditutup dan pintu surga dibuka.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِقَتْ أَبْوَابُ النِّيْرَانِ وَصُفِدَتِ الشَّيَاطِيْنُ
“Bila
datang bulan Ramadhan dibukalah pintu-pintu surga, ditutuplah
pintu-pintu neraka dan dibelenggulah para setan.” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
Pada bulan Ramadhan pula terdapat malam Lailatul Qadar. Allah subhanallahu wata’ala berfirman:
إِنَّا
أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ. وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ
الْقَدْرِ. لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ. تَنَزَّلُ
الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ.
سَلاَمٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Kami telah
menurunkan Al Qur’an pada malam kemuliaan. Tahukah kamu apakah malam
kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada
malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin
Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan
hingga terbit fajar.” (Al-Qadar: 1-5)
Penghapus Dosa
Ramadhan
adalah bulan untuk menghapus dosa. Hal ini berdasar hadits Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda:
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ
وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ لَمَا بَيْنَهُنَّ إِذَا
اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ
“Shalat lima waktu, dari Jum’at (yang
satu) menuju Jum’at berikutnya, (dari) Ramadhan hingga Ramadhan
(berikutnya) adalah penghapus dosa di antaranya, apabila ditinggalkan
dosa-dosa besar.” (HR. Muslim)
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa
yang berpuasa Ramadhan dengan keimanan dan mengharap ridha Allah, akan
diampuni dosa-dosanya yang terdahulu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Rukun Berpuasa
a. Berniat sebelum munculnya fajar shadiq. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya.” (Muttafaqun ‘alaih dari hadits ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu)
Juga hadits Hafshah radhiyallahu ‘anha, bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
مَنْ لَمْ يَجْمَعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa yang tidak berniat berpuasa sebelum fajar maka tidak ada puasa baginya.” (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan)
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini mudhtharib (goncang) walaupun sebagian ulama menghasankannya.
Namun
mereka mengatakan bahwa ini adalah pendapat Ibnu ‘Umar, Hafshah,
‘Aisyah, dan tidak ada yang menyelisihinya dari kalangan para shahabat.
Persyaratan
berniat puasa sebelum fajar dikhususkan pada puasa yang hukumnya wajib,
karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah datang kepada
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pada selain bulan Ramadhan lalu bertanya:
“Apakah kalian mempunyai makan siang? Jika tidak maka saya berpuasa.”
(HR. Muslim)
Masalah ini dikuatkan pula dengan perbuatan
Abud-Darda, Abu Thalhah, Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan Hudzaifah ibnul
Yaman. Ini adalah pendapat jumhur.
Para ulama juga berpendapat
bahwa persyaratan niat tersebut dilakukan pada setiap hari puasa karena
malam Ramadhan memutuskan amalan puasa sehingga untuk mengamalkan
kembali membutuhkan niat yang baru. Wallahu a’lam.
Berniat ini
boleh dilakukan kapan saja baik di awal malam, pertengahannya maupun
akhir. Ini pula yang dikuatkan oleh jumhur ulama1.
b. Menahan diri dari setiap perkara yang membatalkan puasa dimulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari.
Telah
diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim hadits dari
‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda:
إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَهُنَا وَأَدْرَكَ النَّهَارُ مِنْ هَهُنَا وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ
“Jika
muncul malam dari arah sini (barat) dan hilangnya siang dari arah sini
(timur) dan matahari telah terbenam, maka telah berbukalah orang yang
berpuasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Puasa dimulai dengan
munculnya fajar. Namun kita harus hati-hati karena terdapat dua jenis
fajar, yaitu fajar kadzib dan fajar shadiq. Fajar kadzib ditandai dengan
cahaya putih yang menjulang ke atas seperti ekor serigala. Bila fajar
ini muncul masih diperbolehkan makan dan minum namun diharamkan shalat
Shubuh karena belum masuk waktu.
Fajar yang kedua adalah fajar
shadiq yang ditandai dengan cahaya merah yang menyebar di atas lembah
dan bukit, menyebar hingga ke lorong-lorong rumah. Fajar inilah yang
menjadi tanda dimulainya seseorang menahan makan, minum dan yang
semisalnya serta diperbolehkan shalat Shubuh.
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
الْفَجْرُ
فَجْرَانِ فَأَمَّا اْلأَوَّلُ فَإِنَّهُ لاَ يُحْرِمُ الطَّعَامَ وَلاَ
يُحِلُّ الصَّلاَةَ وَأَمَّا الثَّانِي فَإِنَّهُ يُحْرِمُ الطَّعَامَ
وَيُحِلُّ الصَّلاَةَ
“Fajar itu ada dua, yang pertama tidak
diharamkan makan dan tidak dihalalkan shalat (Shubuh). Adapun yang kedua
(fajar) adalah yang diharamkan makan (pada waktu tersebut) dan
dihalalkan shalat.” (HR. Ibnu Khuzaimah, 1/304, Al-Hakim, 1/304, dan
Al-Baihaqi, 1/377)
Namun para ulama menghukumi riwayat ini mauquf
(hanya perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anha dan bukan sabda Nabi
shallallahu alaihi wasallam). Di antara mereka adalah Al-Baihaqi,
Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya (2/165), Abu Dawud dalam Marasil-nya
(1/123), dan Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Tarikh-nya (3/58). Juga
diriwayatkan dari Tsauban dengan sanad yang mursal. Sementara
diriwayatkan juga dari hadits Jabir dengan sanad yang lemah.
Wallahu a’lam.
1 Cukup dengan hati dan tidak dilafadzkan dan makan sahurnya seseorang sudah menunjukkan dia punya niat berpuasa, red
———————————————–
Siapa yang Diwajibkan Berpuasa?
Orang
yang wajib menjalankan puasa Ramadhan memiliki syarat-syarat tertentu.
Telah sepakat para ulama bahwa puasa diwajibkan atas seorang muslim yang
berakal, baligh, sehat, mukim, dan bila ia seorang wanita maka harus
bersih dari haidh dan nifas.
Sementara itu tidak ada kewajiban
puasa terhadap orang kafir, orang gila, anak kecil, orang sakit,
musafir, wanita haidh dan nifas, orang tua yang lemah serta wanita hamil
dan wanita menyusui.
Bila ada orang kafir yang berpuasa, karena
puasa adalah ibadah di dalam Islam maka tidak diterima amalan seseorang
kecuali bila dia menjadi seorang muslim dan ini disepakati oleh para
ulama.
Adapun orang gila, ia tidak wajib berpuasa karena tidak
terkena beban beramal. Hal ini berdasarkan hadits ‘Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ الْمَجْنُوْنِ
حَتَّى يَفِيْقَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقَظَ وَعَنِ الصَّبِي
حَتَّى يَحْتَلِمَ
“Diangkat pena (tidak dicatat) dari 3 golongan:
orang gila sampai dia sadarkan diri, orang yang tidur hingga dia bangun
dan anak kecil hingga dia baligh.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan
At-Tirmidzi)
Meski anak kecil tidak memiliki kewajiban berpuasa
sebagaimana dijelaskan hadits di atas, namun sepantasnya bagi orang tua
atau wali yang mengasuh seorang anak agar menganjurkan puasa kepadanya
supaya terbiasa sejak kecil sesuai kesanggupannya.
Sebuah hadits diriwayatkan Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiyallahu ‘anha:
“Utusan
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengumumkan di pagi hari ‘Asyura
agar siapa di antara kalian yang berpuasa maka hendaklah dia
menyempurnakannya dan siapa yang telah makan maka jangan lagi dia makan
pada sisa harinya. Dan kami berpuasa setelah itu dan kami mempuasakan
kepada anak-anak kecil kami. Dan kami ke masjid lalu kami buatkan mereka
mainan dari wol, maka jika salah seorang mereka menangis karena (ingin)
makan, kamipun memberikan (mainan tersebut) padanya hingga mendekati
buka puasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Sementara itu, bagi
orang-orang lanjut usia yang sudah lemah (jompo), orang sakit yang tidak
diharapkan sembuh, dan orang yang memiliki pekerjaan berat yang
menyebabkan tidak mampu berpuasa dan tidak mendapatkan cara lain untuk
memperoleh rizki kecuali apa yang dia lakukan dari amalan tersebut, maka
bagi mereka diberi keringanan untuk tidak berpuasa namun wajib membayar
fidyah yaitu memberi makan setiap hari satu orang miskin.
Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anha:
“Diberikan
keringanan bagi orang yang sudah tua untuk tidak berpuasa dan memberi
makan setiap hari kepada seorang miskin dan tidak ada qadha atasnya.”
(HR. Ad-Daruquthni dan Al-Hakim dan dishahihkan oleh keduanya)
Anas
bin Malik radhiyallahu ‘anhu tatkala sudah tidak sanggup berpuasa maka
beliau memanggil 30 orang miskin lalu (memberikan pada mereka makan)
sampai mereka kenyang. (HR. Ad-Daruquthni 2/207 dan Abu Ya’la dalam
Musnad-nya 7/204 dengan sanad yang shahih. Lihat Shifat Shaum An-Nabi,
hal. 60)
Orang-orang yang diberi keringanan untuk tidak berpuasa
namun wajib atas mereka menggantinya di hari yang lain adalah musafir,
dan orang yang sakit yang masih diharap kesembuhannya yang apabila dia
berpuasa menyebabkan kekhawatiran sakitnya bertambah parah atau lama
sembuhnya.
Allah subhanallahu wata’ala berfirman:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka
barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan lalu ia
berbuka, maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan
pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 184)
Demikian pula bagi
wanita hamil dan menyusui yang khawatir terhadap janinnya atau anaknya
bila dia berpuasa, wajib baginya meng-qadha puasanya dan bukan membayar
fidyah menurut pendapat yang paling kuat dari pendapat para ulama.
Hal ini berdasar hadits Anas bin Malik Al-Ka’bi radhiyallahu ‘anhu, bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلاَةِ وَالصَّوْمَ وَعَنِ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ
“Sesungguhnya
Allah telah meletakkan setengah shalat dan puasa bagi orang musafir dan
(demikian pula) bagi wanita menyusui dan yang hamil.” (HR. An-Nasai,
4/180-181, Ibnu Khuzaimah, 3/268, Al-Baihaqi, 3/154, dan dishahihkan
oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah)
Yang tidak wajib berpuasa namun wajib meng-qadha (menggantinya) di hari lain adalah wanita haidh dan nifas.
Telah
terjadi kesepakatan di antara fuqaha bahwa wajib atas keduanya untuk
berbuka dan diharamkan berpuasa. Jika mereka berpuasa, maka dia telah
melakukan amalan yang bathil dan wajib meng-qadha.
Di antara dalil atas hal ini adalah hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha:
كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ فَنُأْمَرُ بِقَضَاءِ الصِّيَامِ وَلاَ نُأْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ
“Adalah
kami mengalami haidh lalu kamipun diperintahkan untuk meng-qadha puasa
dan tidak diperintahkan meng-qadha shalat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Wallohu a’lam
Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=295
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar