Pages

Rabu, 01 Agustus 2012

9 Tuntunan Minum Rasulullah

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”( Al-Ahzab 21)
Demikian firman Alloh Ta’ala dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab : 21 yang mengingatkan kita bahwa Rasulullah Muhammad Saw adalah suri teladan dan contoh terbaik bagi kita dalam menjalani setiap sisi dan aktifitas kehidupan ini.
Begitu juga dalam hal yang mungkin kita anggap sepele yaitu aktifitas makan dan minum, seringkali kita menyaksikan sahabat-sahabat kita kaum muslimin makan dan minum dengan kondisi yang jauh dari apa yang Rasululloh Saw contohkan, misal seringkali kita menjumpai orang-orang yang minum sambil berdiri atau bahkan akan makan juga sambil berdiri, masyaAlloh.
Untuk itu mari kita sama-sama mengkaji bagaimana prilaku keseharian Rasululloh Saw yang bisa kita tauladani terutama dalam hal makan dan minumnya beliau, sebagai bukti cinta kita kepadanya dan menjadikan sunnah-sunnahnya sebagai tauladan.
Dan berikut 9 Tuntunan Minum dari Rasulullah :
1. Niatkan Minum sebagai Ibadah.
Meniatkan minum untuk dapat beribadah kepada Allah agar bernilai pahala.Segala perkara yang mubah dapat bernilai pahala jika disertai dengan niat untuk beribadah. Wahai ibu, maka niatkanlah aktivitas minum kita dengan niat agar dapat beribadah kepada Allah. Dan janganlah lupa memberitahukan anak tentang hal ini
2.Membaca Bismillah.
Memulai minum dengan membaca basmallah.Diantara sunnah Nabi adalah mengucapkan basmallah sebelum minum. Hal ini berdasarkan hadits yang memerintahkan membaca ‘bismillah’ sebelum makan. Bacaan bismillah yang sesuai dengan sunnah adalah cukup dengan bismillah tanpa tambahan ar-Rahman dan ar-Rahim.
Dari Amr bin Abi Salamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anakku, jika engkau hendak makan ucapkanlah bismillah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang berada di dekatmu.” (HR Thabrani dalam Mu’jam Kabir)
Dalam silsilah hadits shahihah, 1/611 Syaikh al-Albani mengatakan, “Sanad hadits ini shahih menurut persyaratan Imam Bukhari dan Imam Muslim)Wahai ibu, jangan lupa untuk mengingatkan anak-anak kita untuk membaca ‘bismillah’ ketika hendak minum, agar setan tidak ikut serta menikmati makanan dan minuman yang sedang kita konsumsi.
3.Menggunakan Tangan Kanan.
Minum dengan tangan kanan.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Jika salah seorang dari kalian hendak makan, hendaklah makan dengan tangan kanan. Dan apabila ingin minum, hendaklah minum dengan tangan kanan. Sesungguhnya setan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya.” (HR. Muslim)Ajarkanlah pada si kecil untuk selalu menggunakan tangan kanan ketika makan dan minum. Seringkali si kecil lupa meskipun telah kita ajari, apalagi ketika menyantap makanan ringan (snack) bersama teman mainnya. Nah, saat kita melihatnya, ingatkanlah ia. Janganlah bosan dan merasa jemu untuk mengingatkan anak kita. Insyaa Allah jika kita melakukannya dengan ikhlas mengharap ridha Allah, Allah akan mengganti usaha kita tersebut dengan pahala.
4.Tidak bernafas dan meniup air minum.
Tidak bernafas dan meniup air minum.Termasuk adab ketika minum adalah tidak bernafas dan meniup air minum. Ada beberapa hadits mengenai hal ini:Dari Abu Qatadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian minum maka janganlah bernafas dalam wadah air minumnya.” (HR. Bukhari no. 5630 dan Muslim no. 263)
Dari Ibnu Abbas, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk bernafas atau meniup wadah air minum.” (HR. Turmudzi no. 1888 dan Abu Dawud no. 3728, hadits ini dishahihkan oleh Al-Albani).Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi mengatakan, “Larangan bernafas dalam wadah air minum adalah termasuk etika karena dikhawatirkan hal tersebut mengotori air minum atau menimbulkan bau yang tidak enak atau dikhawatirkan ada sesuatu dari mulut dan hidung yang jatuh ke dalamnya dan hal-hal semacam itu.
Dalam Zaadul Maad IV/325 Imam Ibnul Qayyim mengatakan, “Terdapat larangan meniup minuman karena hal itu menimbulkan bau yang tidak enak yang berasal dari mulut. Bau tidak enak ini bisa menyebabkan orang tidak mau meminumnya lebih-lebih jika orang yang meniup tadi bau mulutnya sedang berubah. Ringkasnya hal ini disebabkan nafas orang yang meniup itu akan bercampur dengan minuman. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua hal sekaligus yaitu mengambil nafas dalam wadah air minum dan meniupinya.
5.Bernafas tiga kali ketika minum.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam minum beliau mengambil nafas di luar wadah air minum sebanyak tiga kali.” Dan beliau bersabda, “Hal itu lebih segar, lebih enak dan lebih nikmat.”
Anas mengatakan, “Oleh karena itu ketika aku minum, aku bernafas tiga kali.” (HR. Bukhari no. 45631 dan Muslim no. 2028). Yang dimaksud bernafas tiga kali dalam hadits di atas adalah bernafas di luar wadah air minum dengan menjauhkan wadah tersebut dari mulut terlebih dahulu, karena bernafas dalam wadah air minum adalah satu hal yang terlarang sebagaimana penjelasan di atas.
6.Tidak minum langsung dari mulut teko/ceret.
Dari Abu Hurairah, beliau berkata, “Rasulullah melarang minum langsung dari mulut qirbah (wadah air yang terbuat dari kulit) atau wadah air minum yang lainnya.” (HR Bukhari no. 5627).
Menurut sebagian ulama minum langsung dari mulut teko hukumnya adalah haram, namun mayoritas ulama mengatakan hukumnya makruh. Ketahuilah wahai para ibu muslimah, yang sesuai dengan adab islami adalah menuangkan air tersebut ke dalam gelas kemudian baru meminumnya.Dari Kabsyah al-Anshariyyah, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam rumahku lalu beliau minum dari mulut qirbah yang digantungkan sambil berdiri. Aku lantas menuju qirbah tersebut dan memutus mulut qirbah itu.” (HR. Turmudzi no. 1892, Ibnu Majah no. 3423 dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Hadits ini menunjukkan bolehnya minum dari mulut wadah air. Untuk mengkompromikan dengan hadits-hadits yang melarang, al-Hafidz Ibnu Hajar al-Atsqalani mengatakan, “Hadits yang menunjukkan bolehnya minum dari mulut wadah air itu berlaku dalam kondisi terpaksa.” Mengompromikan dua jenis hadits yang nampak bertentangan itu lebih baik daripada menyatakan bahwa salah satunya itu mansukh (tidak berlaku).”(Fathul Baari, X/94)
7.Duduk ketika minum.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian minum sambil berdiri. Barang siapa lupa sehingga minum sambil berdiri, maka hendaklah ia berusaha untuk memuntahkannya.” (HR. Ahmad no 8135)
Namun disamping itu, terdapat pula hadits yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum sambil berdiri. Dari Ibnu Abbas beliau mengatakan, “Aku memberikan air zam-zam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau lantas minum dalam keadaan berdiri.” (HR. Bukhari no. 1637, dan Muslim no. 2027)Dalam hadits yang pertama Rasulullah melarang minum sambil berdiri sedangkan hadits kedua adalah dalil bolehnya minum sambil berdiri. Kedua hadits tersebut adalah shahih. Lalu bagaimana mengkompromikannya?
Mengenai hadits di atas, ada ulama yang berkesimpulan minum sambil berdiri diperbolehkan, meski yang lebih utama adalah minum sambil duduk. Diantara ulama tersebut adalah Imam Nawawi dan Syaikh Utsaimin. Meskipun minum sambil berdiri diperbolehkan, namun yang lebih utama adalah sambil duduk karena makan dan minum sambil duduk adalah kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Minum sambil berdiri tidaklah haram akan tetapi melakukan hal yang kurang utama.
8.Menutup bejana air ketika malam hari.
Biasakan diri kita untuk menutup bejana air pada malam hari dan jangan lupa mengajarkan anak kita tentang hal ini. Sebagaimana hadits dari Jabir bin Abdillah, ia berkata, aku mendengar Rasulullah bersabda,
“Tutuplah bejana-bejana dan wadah air. Karena dalam satu tahun ada satu malam, ketika ituturun wabah, tidaklah ia melewati bejana-bejana yang tidak tertutup, ataupun wadah air yang tidak diikat melainkan akan turun padanya bibit penyakit.” (HR. Muslim)
9.Tidak mencela minuman yang ada dan bersyukur.
Ajarkan pula kepada anak, bahwa kita tidak boleh mencela makanan walaupun kita tidak menyukainya.
Demikian sekilas tentang bagaimana Rasulullohu ‘Alaihi Wasallam memberikan ketauladan yang sangat baik untuk kita ummatnya tentang bagaimana seorang muslim ketika melakukan aktifitas minum, yang insyaAlloh tidak hanya bernilai ibadah tetapi juga akhirnya menjadi jalan kesehatan bagi tubuh.IsyaAlloh
Sumber Materi : Artikel Ustadz Aris Munandar (www.muslim.or.id)

Saling Berkunjung / Silaturrahmi Ketika Lebaran

Adalah menjadi kebiasaan di masyarakat kita untuk saling berkunjung ke rumah kerabat dan tetangga saat lebaran tiba. Bahkan orang rela datang jauh-jauh dengan tujuan pokok bisa berjumpa kerabat ketika hari raya idul fitri. Bagaimanakah hukum agama menyikapi fenomena ini? Apa benar bid’ah sebagaimana anggapan sebagian orang? Berikut ini beberapa kutipan dari ulama dan para penuntut ilmu yang berhasil kami dapatkan, moga bisa memberi sedikit gambaran untuk mendudukkan masalah ini secara arif dan bijaksana.
Ummu Abdillah al Wadi’iyyah, putri Syeikh Muqbil mengatakan, “Sebagian orang ketika ada momen tertentu semisal hari raya atau ada yang baru pulang dari bepergian pergi menemui kerabatnya baik masih mahram ataukah tidak dan berjabat tangan dengan perempuan yang masih kerabatnya tersebut. Hal ini boleh jadi dilakukan dengan maksud mendekatkan diri kepada Alloh atau hanya sebagai tradisi. Demikian pula yang dilakukan oleh perempuan.

Ini adalah sebuah kekeliruan yaitu berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram. Sedangkan mengkhususkan saling berkunjung dan berjabat tangan pada saat hari raya demikian pula ucapan selamat hari raya bukanlah amal yang disyariatkan (baca: dianjurkan apalagi diwajibkan) baik bagi laki-laki ataupun perempuan. Namun tidak sampai derajat bid’ah kecuali jika acara tersebut dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Alloh. Pada saat demikian maka berstatus bid’ah karena ibadah dengan bentuk demikian tidak pernah dilakukan di masa Nabi.
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa mengada-ada dalam agama kami ini sesuatu yang bukan bagian darinya maka sesuatu tersebut pasti tertolak”.
Juga diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah firman Alloh sedangkan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sejelek-jelek perkara dalam agama adalah perkara yang baru. Setiap yang baru dalam agama adalah bid’ah dan setiap bidah adalah kesesatan”.
Lafazh ‘kullu’ yang berarti setiap atau seluruh adalah kata yang menunjukkan makna yang luas sehingga tercakup di dalamnya semua bid’ah dan semua bidah adalah kesesatan.
Tradisi itu sendiri jika tidak memiliki landasan dalam agama sebaiknya dimusnahkan saja.
Lebih-lebih acara saling berkunjung saat hari raya itu banyak membuang-buang waktu secara percuma. Sedangkan perempuan tidaklah dibolehkan sering keluar rumah.
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
Yang artinya, “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (QS al Ahzab:33).
Realitanya perempuan yang berkunjung saat lebaran keluar masuk dari suatu rumah ke rumah yang lain.
Namun perlu diperhatikan, kami tidaklah melarang kegembiraan dan bersenang-senang ketika lebaran dan idul adha. Bahkan hal ini disyariatkan (baca:dianjurkan) selama tidak menyelisihi ajaran al Qur’an dan sunnah” (Nasihati lin Nisa’ hal 124-125).
Kutipan ini menunjukkan bahwa beliau berpendapat bahwa kebiasaan berkunjung saat lebaran itu adalah perkara non ibadah sehingga tidak bisa dinilai bid’ah kecuali jika diiringi niat menjadikannya sebagai sarana mendekatkan diri kepada Alloh meski demikian beliau berpandangan agar sebaiknya kebiasaan ini ditinggalkan (ingat, beliau tidak mewajibkannya) dengan alasan: a) ini adalah kebiasaan yang tidak ada landasannya dalam syariat b)membuang-buang waktu c)menyebabkan perempuan keluar rumah tanpa ada keperluan mendesak.

Akan tetapi prinsip bahwa adat kebiasaan yang tidak ada landasannya dalam syariat sebaiknya ditinggalkan adalah suatu hal yang perlu dikaji ulang mengingat hukum asal perkara non ibadah adalah boleh.
Sedangkan Syeikh Wahid Abdus Salam Bali mengatakan, “Di antara kaum muslimin ada yang kembali dari sholat hari raya menuju pekuburan untuk menziarahi kuburan famili atau temannya. Di antara mereka ada yang mengakhirkan ziarah hingga waktu Ashar di hari raya. Kedua perbuatan tersebut adalah keliru disebabkan dua alasan:

1. bukan termasuk petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula salah seorang dari shahabatnya mengkhususkan hari raya untuk ziarah kubur.
2. hari raya merupakan hari untuk berbahagia bukan hari untuk berduka dan menangis. "Hari raya merupakan hari untuk mengunjungi orang yang hidup, bukan untuk mengunjungi orang yang telah meninggal” (50 Kesalahan Dalam Berhari Raya hal 48-49).
Di halaman lain dari buku yang sama, beliau mengatakan, “Pada hari raya, mengunjungi kerabat itu dianjurkan, demikian juga silaturrahmi". Akan tetapi dalam acara berkunjung ini terkadang terjadi beberapa pelanggaran syar’i. Saat berkunjung ke rumah paman, terkadang bertemu dengan anak perempuan paman lalu orang tersebut bersalaman dengannya. Hal ini tidak boleh dilakukan, dikarenakan anak paman dan anak bibi adalah bukan mahram, tidak boleh bersalaman dengan mereka” (50 Kesalahan Dalam Berhari Raya hal. 66).
Mungkin beliau berpendapat dianjurkan saling berkunjung karena saling berkunjung adalah salah satu bentuk mengungkapkan rasa gembira saat hari raya yang disyariatkan.
Hal ini juga pernah kami diskusikan dengan salah seorang penuntut ilmu yaitu Ustadz Anas Burhanuddin di kota Madinah, melalui sms beliau mengatakan, “Jika mengkhususkannya pada idul fitri, hal tersebut bid’ah. Tapi jika memanfaatkan momen orang mudik untuk ziarah (baca:berkunjung), Syeikh Ibrahim (ar Ruhaili) pernah bilang, ‘Syai-un thoyyib, suatu yang baik” (26 Agustus 2006, 13:09 waktu Madinah).
Hal ini juga pernah ditanyakan kepada Syeikh Sami Shughair, menantu dan murid senior Syeikh Ibnu Utsaimin-melalui Ustadz Abu Ubaidah as Sidawi ketika beliau masih di Unaizah- dan kurang lebih beliau mengatakan, “Boleh saja, itu adat yang bagus”.

Keutamaan Bulan Ramadhan

kesempatan kali ini menampilkan artikel-artikel seputar puasa Ramadhan. Semoga dengan persiapan ilmu ini, ibadah Ramadhan kita semakin lebih baik dari sebelumnya.

Ramadhan adalah Bulan Diturunkannya Al Qur’an
Bulan ramadhan adalah bulan yang mulia. Bulan ini dipilih  sebagai bulan untuk berpuasa dan pada bulan ini pula Al Qur’an diturunkan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah: 185)
Ibnu Katsir rahimahullah tatkala menafsirkan ayat yang mulia ini mengatakan, ”(Dalam ayat ini) Allah Ta’ala memuji bulan puasa –yaitu bulan Ramadhan- dari bulan-bulan lainnya. Allah memuji demikian karena bulan ini telah Allah pilih sebagai bulan diturunkannya Al Qur’an dari bulan-bulan lainnya. Sebagaimana pula pada bulan Ramadhan ini Allah telah menurunkan kitab ilahiyah lainnya pada para Nabi ’alaihimus salam.”
Setan-setan Dibelenggu, Pintu-pintu Neraka Ditutup dan Pintu-pintu Surga Dibuka Ketika Ramadhan Tiba
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ
Apabila Ramadhan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan pun dibelenggu.”
Al Qodhi ‘Iyadh mengatakan, “Hadits di atas dapat bermakna, terbukanya pintu surga dan tertutupnya pintu Jahannam dan terbelenggunya setan-setan sebagai tanda masuknya bulan Ramadhan dan mulianya bulan tersebut.” Lanjut Al Qodhi ‘Iyadh, “Juga dapat bermakna terbukanya pintu surga karena Allah memudahkan berbagai ketaatan pada hamba-Nya di bulan Ramadhan seperti puasa dan shalat malam. Hal ini berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Di bulan Ramadhan, orang akan lebih sibuk melakukan kebaikan daripada melakukan hal maksiat. Inilah sebab mereka dapat memasuki surga dan pintunya. Sedangkan tertutupnya pintu neraka dan terbelenggunya setan, inilah yang mengakibatkan seseorang mudah menjauhi maksiat ketika itu.”
Terdapat Malam yang Penuh Kemuliaan dan Keberkahan
Pada bulan ramadhan terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan yaitu lailatul qadar (malam kemuliaan). Pada malam inilah –yaitu 10 hari terakhir di bulan Ramadhan- saat diturunkannya Al Qur’anul Karim.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (2) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada lailatul qadar (malam kemuliaan). Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al Qadr: 1-3).
Dan Allah Ta’ala juga berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ
Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (QS. Ad Dukhan: 3). Yang dimaksud malam yang diberkahi di sini adalah malam lailatul qadr. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Jarir Ath Thobari rahimahullah. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama di antaranya Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

Bulan Ramadhan adalah Salah Satu Waktu Dikabulkannya Do’a
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ لِلّهِ فِى كُلِّ يَوْمٍ عِتْقَاءَ مِنَ النَّارِ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ ,وَإِنَّ لِكُلِّ مُسْلِمٍ دَعْوَةً يَدْعُوْ بِهَا فَيَسْتَجِيْبُ لَهُ
Sesungguhnya Allah membebaskan beberapa orang dari api neraka pada setiap hari di bulan Ramadhan,dan setiap muslim apabila dia memanjatkan do’a maka pasti dikabulkan.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
Tiga orang yang do’anya tidak tertolak: orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan do’a orang yang dizholimi”. An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini menunjukkan bahwa disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk berdo’a dari awal ia berpuasa hingga akhirnya karena ia dinamakan orang yang berpuasa ketika itu.” An Nawawi rahimahullah mengatakan pula, “Disunnahkan bagi orang yang berpuasa ketika ia dalam keadaan berpuasa untuk berdo’a demi keperluan akhirat dan dunianya, juga pada perkara yang ia sukai serta jangan lupa pula untuk mendoakan kaum muslimin lainnya.”
Raihlah berbagai keutamaan di bulan tersebut, wahai Saudaraku!
Semoga Allah memudahkan kita untuk semakin meningkatkan amalan sholih di bulan Ramadhan.

Sunnah, Makruh, dan yang membatalkan Puasa

 Pada kesempatan ini saya akan menyampaikan apa yang disunnahkan, dimakruhkan dan yang membatalkan puasa, agar kita mendapat ilmu tambahan... barangkali saja dari semua ini ada yang tidak tau... hehehe
dari pada banyak bicara silakan di lihat artikelnya:


Hal-hal yang disunnahkan dalam puasa Ramadhan:
1. Menyegerakan berbuka puasa.
2. Sahur, sekalipun dengan seteguk air.
3. Mengakhirkan sahur, dimulai dari tengah malam.
4. Berbuka dengan kurma. Disunnahkan dengan bilangan ganjil. Bila tak ada kurma, maka air zam-zam. Bila tak ada, cukup dengan air putih. Bila tak ada, dengan apa saja yang berasa manis alami. Bila tak ada juga, berbuka dengan makanan atau minuman yang diberi pemanis.
5. Membaca doa berbuka yaitu:
اَللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلىَ رِزْقِكَ اَفْطَرْتُ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ اْلعُرُوقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ اِنْ شَاءَ اللهُ .اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِي أَعَانَنِي فَصُمْتُ وَرَزَقَنِي فَأَفْطَرْتُ اَللّهُمَّ اِنِّي أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ اَنْ تَغْفِرَ لِي .
6. Memberi makanan berbuka kepada orang berpuasa.
7. Mandi janabat sebelum terbitnya fajar bagi orang yang junub di malam hari.
8. Mandi setiap malam di bulan Ramadhan
9. Menekuni sholat tarawih dan witir.
10. Memperbanyak bacaan Al Quran dengan berusaha memahami artinya.
11. Memperbanyak amalan sunnah dan amal sholeh.
12. Meninggalkan caci maki.
13. Berusaha makan dari yang halal
14. Bersungguh-sungguh di sepuluh hari terakhir, dan lain-lain
Hal-hal yang dimakruhkan dalam puasa Ramadhan:
1. Mencicipi makanan
2. Bekam [mengeluarkan darah]
3. Banyak tidur dan terlalu kenyang
4. Mandi dengan menyelam
5. Memakai siwak setelah masuk waktu duhur.

Hal hal yang membatalkan pahala puasa:
1. Ghibah (gosip)
2. Adu domba
3. Berbohong
4. Memandang dengan syahwat
5. Sumpah palsu
6. Berkata jorok atau jelek

Rasulullah SAW bersabda :
خمس يفطّرن الصائم الكذب والغيبة والنميمة واليمين الكاذبة والنظر بشهوة
“ Lima perkara yang membatalkan (pahala) puasa : berbohong, ghibah, adu domba, sumpah palsu dan melihat dengan syahwat “ (H.R. Anas)

Masalah yang berkaitan dengan Puasa

Masalah masalah yang berkaitan dengan puasa:
1. Apabila seseorang berhubungan dengan istrinya pada siang hari Ramadhan dengan sengaja, tanpa terpaksa dan mengetahui keharamannya maka puasanya batal, berdosa, wajib menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa sampai maghrib dan wajib mengqodhoi puasa serta wajib membayar kaffaroh [denda] yaitu:
-        membebaskan budak perempuan yang islam
-        jika tidak mampu, wajib berpuasa dua bulan berturut turut,
-        jika tidak mampu maka wajib memberi makanan pada 60 orang miskin masing-masing berupa 1 mud (7,5 ons) dari makanan pokok. Denda ini wajib dikeluarkan hanya bagi laki laki.
2.  Hukum menelan dahak :
  • Jika telah mencapai batas luar tenggorokan, maka haram menelan dan membatalkan puasa.
  • Jika masih di batas dalam tenggorokan, maka boleh dan tidak membatalkan puasa.
Yang dimaksud batas luar menurut pendapat Imam Nawawi (mu’tamad) adalah makhroj huruf kha’ (ح), dan dibawahnya adalah batas dalam. Sedangkan menurut sebagian ulama’ batas luar adalah makhroj huruf kho’(خ), dan di bawahnya adalah batas dalam.
3.  Menelan ludah tidak membatalkan puasa dengan syarat:
-          Murni (tidak tercampur benda lain)
-          Suci
-          Berasal dari sumbernya yaitu lidah dan mulut, sedangkan menelan ludah yang berada pada bibir luar membatalkan puasa karena sudah di luar mulut.
4.  Hukum masuknya air mandi ke dalam rongga dengan tanpa sengaja:
-          Jika sebab mandi sunnah seperti mandi untuk sholat jum’at atau mandi wajib seperti mandi janabat maka tidak membatalkan puasa kecuali jika sengaja atau menyelam.
-          Jika bukan mandi sunnah atau wajib seperti mandi untuk membersihkan badan maka puasanya batal baik disengaja atau tidak.
5.  Hukum air kumur yang tertelan tanpa sengaja:
  • Jika berkumur untuk kesunnahan seperti dalam wudhu’ tidak membatalkan puasa asalkan tidak terlalu ke dalam (mubalaghoh)
  • Jika berkumur biasa, bukan untuk  kesunnahan maka puasanya batal secara mutlak, baik terlalu ke dalam (mubalaghoh) atau tidak.
6.  Orang yang muntah atau mulutnya berdarah wajib berkumur dengan mubalaghoh (membersihkan hingga ke pangkal tenggorokan) agar semua bagian mulutnya suci.
Apabila ia menelan ludah tanpa mensucikan mulutnya terlebih dahulu maka puasanya batal sekalipun ludahnya nampak bersih.
7.  Orang yang sengaja membatalkan puasanya atau tidak berniat di malam hari, wajib menahan diri di siang hari Ramadhan dari perkara yang membatalkan puasa (seperti orang puasa) sampai maghrib dan setelah Ramadhan wajib mengqodhoi puasanya.
8.  Berbagai konsekuensi bagi orang yang tidak berpuasa atau membatalkan puasa Ramadhan:
1.       Wajib qodho’ dan membayar denda :
  • Jika membatalkan puasa demi orang lain. Seperti perempuan mengandung dan menyusui yang tidak puasa karena kuatir pada kesehatan anaknya saja.
  • Mengakhirkan qodho’ hingga datang Ramadhan lagi tanpa ada udzur.
2.  Wajib qodho’ tanpa denda.
Berlaku bagi orang yang tidak berniat puasa di malam hari, orang yang membatalkan puasanya dengan selain jima’ (bersetubuh) dan perempuan hamil atau menyusui yang tidak puasa karena kuatir pada kesehatan dirinya saja atau kesehatan dirinya dan anaknya.
3.  Wajib denda tanpa qodho’.
Berlaku bagi orang lanjut usia dan orang sakit yang tidak punya harapan sembuh, jika keduanya tidak mampu berpuasa.
4.  Tidak wajib qodho’ dan tidak wajib denda.
Berlaku bagi orang yang gila tanpa disengaja.
Yang dimaksud denda di sini adalah 1 mud (7,5 ons) makanan pokok daerah setempat untuk setiap harinya.

Materi Puasa

Secara bahasa (etimologi) berarti : menahan.Menurut istilah syara’ (terminologi) berarti menahan diri dari perkara yang membatalkan puasa mulai terbit fajar sampai terbenamnya matahari dengan niat tertentu.
Dasar wajib puasa:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa, (Al-Baqoroh 183)
Puasa diwajibkan pada bulan Sya’ban tahun kedua hijriyyah.
Hikmah puasa : menahan hawa nafsu, mengurangi syahwat, memberikan pelajaran bagi si kaya untuk merasakan lapar sehingga menumbuhkan rasa kasih sayang kepada fakir miskin, dan menjaga dari maksiat.
Syarat sah puasa:
  1. Islam
  2. Berakal
  3. Bersih dari haid dan nifas
  4. Mengetahui waktu diperbolehkan untuk berpuasa.
Berarti tidak sah puasa orang kafir, orang gila walaupun sebentar, perempuan haid atau nifas dan puasa di waktu yang diharamkan berpuasa, seperti hari raya atau hari tasyriq.
Adapun perempuan yang terputus haid atau nifasnya sebelum fajar maka puasanya tetap sah dengan syarat telah niat, sekalipun belum mandi sampai pagi.
Syarat wajib puasa:
1. Islam
Puasa tidak wajib bagi orang kafir dalam hukum dunia, namun di akhirat mereka tetap dituntut dan diadzab karena meninggalkan puasa selain diadzab karena kekafirannya.
Sedangkan orang murtad tetap wajib puasa dan mengqodho’ kewajiban-kewajiban yang ditinggalkannya selama murtad.
2. Mukallaf (baligh dan berakal).
Anak yang belum baligh atau orang gila tidak wajib puasa, namun orang tua wajib menyuruh anaknya berpuasa pada usia 7 tahun jika telah mampu dan wajib memukulnya jika meninggalkan puasa pada usia 10 tahun.
3. Mampu mengerjakan puasa (bukan orang lansia atau orang  sakit).
Lansia yang tidak mampu berpuasa atau orang sakit yang tidak ada harapan untuk sembuh menurut medis wajib mengganti puasanya dengan membayar fidyah yaitu satu mud (7,5 ons) makanan pokok untuk setiap harinya.
4. Mukim (bukan musafir sejauh ± 82 km dan keluar dari batas daerahnya sebelum fajar).
Rukun-rukun puasa:
  1. Niat,
Niat untuk puasa wajib, mulai terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar di setiap harinya. Sedangkan niat untuk puasa sunnah, sampai tergelincirnya matahari (waktu duhur) dengan syarat:
a.  diniatkan sebelum masuk waktu dhuhur
b. tidak mengerjakan hal-hal yang membatalkan puasa seperti makan, minum dan lain-lain sebelum niat.
Niat puasa Ramadhan yang sempurna:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ اَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَان هذِهِ السَّنَة ِللهِ تَعَالَى
Saya niat mengerjakan kewajiban puasa bulan Ramadhan esok hari pada tahun ini karena Allah SWT.
  1. Menghindari perkara yang membatalkan puasa. Kecuali jika lupa atau dipaksa atau karena kebodohan yang ditolerir oleh syari’at (jahil ma’dzur).
Jahil ma’dzur/kebodohan yang ditolerir syariat ada dua:
a. hidup jauh dari ulama’.
b. baru masuk islam.
Hal-hal yang membatalkan puasa :
  1. Masuknya sesuatu ke dalam rongga terbuka yang tembus ke bagian dalam tubuh seperti mulut, hidung, telinga dan lain-lain jika ada unsur kesengajaan, mengetahui keharamannya dan atas kehendak sendiri. Namun jika dalam keadaan lupa, tidak mengetahui keharamannya karena bodoh yang ditolerir atau dipaksa, maka puasanya tetap sah.
  2. Murtad, sekalipun masuk islam seketika.
  3. Haid, nifas dan melahirkan sekalipun sebentar.
  4. Gila meskipun sebentar.
  5. Pingsan dan mabuk sehari penuh. Jika masih ada kesadaran sekalipun sebentar, tetap sah.
  6. Bersetubuh dengan sengaja dan mengetahui keharamannya.
  7. Mengeluarkan mani dengan sengaja, seperti dengan tangan atau dengan menyentuh istrinya tanpa penghalang.
  8. Muntah dengan sengaja.

Menambah Pahala Puasa

1. Bulatkan Niat
Niat adalah sumber kekuatan terpenting dalam menjalankan ibadah, sekaligus menentukan apakah ibadah tersebut diterima atau tidak. Dengan niat tulus, maka seseorang akan memiliki kekuatan dan tekat bulat untuk menjalankan ibadah sebaik- baiknya dan semaksimal mungkin. Tentunya hal ini akan memiliki timbal balik dengan diterimanya ibadah dari niat tulus tersebut. Niat tidak perlu diucapkan secara lantang, tapi dalam hati saja sudah cukup –kalau diucapkan secara lantang berarti niatnya ga’ ikhlas dong ya?

2. Perbanyak Sholat Sunah
Disamping sholat lima waktu yang wajib dikerjakan, alangkah baiknya jika kita memperbanyak sholat sunah. Sering ada istilah sederhana seperti : Buat apa puasa ramadhan kalau tidak sholat tarawih??. Tapi ingat, selain sholat tharawih kita juga dapat memperbanyak sholat witir, sholat dhuha, sholat malam dan sholat sunah lainnya. Mengerjakan sholat sunah di bulan ramadhan itu pahalanya berlipat ganda dibandingkan dengan bulan- bulan yang lain lho! Jadi… ayo rajin- rajin sholat!

3. Kurangi Keluh Kesah
Mengeluh bias mengurangi pahala puasa kita dan meruntuhkan semangat kita dalam berpuasa. Puasa ramadhan selama satu bulan memang penuh dengan godaan, mulai dari rasa lapar/ haus, cuaca panas, teman- teman yang tidak puasa dan mengajak berbuat nakal, dan lain- lain. Untuk menghindari keluh kesah dan hal- hal yang dapat membatalkan puasa, mendingan kita tidur siang saja ya, kan hukumnya sunah, jadi dapat tambahan pahala juga kan?.

4. Perbanyak Ibadah yang lain
Ramadhan adalah bulan yang tepat untuk menumpuk pahala dan amalan ibadah. Selain semua ibadah kita dilipatgandakan, kita juga akan merasa terlahir suci kembali ketika hari kemenangan datang. Ibadah sunah yang dapat diperbanyak dan dilipatgandakan antara lain membaca Al Qur’an, sedekah, zakat, senyum, menolong orang lain, perbanyak zikir, dan lain- lain. Sebenarnya sederhana kan? Mari kita perbanyak ibadah dan raih kemenangan.

Sedekah Dibulan Ramadhan

Salah satu sebab Rasulullah saw memberi teladan untuk lebih bersemangat dalam bersedekah di bulan Ramadhan, adalah karena bersedekah di bulan ini lebih dahsyat dibanding sedekah di bulan lainnya.
Diantara keutamaan sedekah di bulan Ramadhan adalah:
1. Puasa + sedekah + shalat malam =  jaminan surga.
Puasa di bulan Ramadhan adalah ibadah yang agung, bahkan pahala puasa tidak terbatas kelipatannya.
Sebagaimana dikabarkan dalam sebuah hadits qudsi:
Setiap amal manusia akan diganjar kebaikan semisalnya sampai 700 kali lipat.
Allah swt berfirman: “Kecuali puasa, karena puasa itu untuk-KU dan AKU yang akan membalasnya” (HR. Muslim)
Dan sedekah, telah kita ketahui keutamaannya.
Kemudian shalat malam, juga merupakan ibadah yang agung, jika didirikan di bulan Ramadhan dapat menjadi penghapus dosa-dosa yang telah lalu.
Rasulullah saw bersabda:
“Orang yang shalat malam karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosanya yang telah lalu”(HR. Bukhari)
Ketiga amalan yang agung ini terkumpul di bulan Ramadhan dan jika semuanya dikerjakan balasannya adalah jaminan surga.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw :
“Sesungguhnya di surga terdapat ruangan-ruangan yang bagian luarnya dapat dilihat dari dalam dan bagian dalamnya dapat dilihat dari luar. Allah menganugerahkannya kepada orang yang berkata baik, bersedekah makanan, berpuasa, dan shalat dikala kebanyakan manusia tidur” (HR. At Tirmidzi dihasankan Ibnu Hajar Al Asqalani).
2. Mendapatkan tambahan pahala puasa dari orang lain.
Kita telah mengetahui betapa besarnya pahala puasa Ramadhan.
Bayangkan jika kita bisa menambah pahala puasa kita dengan pahala puasa orang lain, maka pahala yang kita raih lebih berlipat lagi.
Subhanallah!
Dan ini bisa terjadi dengan sedekah, yaitu dengan memberikan hidangan berbuka puasa untuk orang lain yang berpuasa.
Rasulullah saw bersabda:
“Orang yang memberikan hidangan berbuka puasa kepada orang lain yang berpuasa, ia akan mendapatkan pahala orang tersebut tanpa sedikitpun mengurangi pahalanya” (HR. At Tirmidzi)
Padahal hidangan berbuka puasa sudah cukup dengan tiga butir kurma atau bahkan hanya segelas air, sesuatu yang mudah dan murah untuk diberikan kepada orang lain.
“Rasulullah saw biasa berbuka puasa dengan beberapa ruthab (kurma basah), jika tidak ada maka dengan beberapa tamr (kurma kering), jika tidak ada maka dengan beberapa teguk air”(HR. At Tirmidzi, Ahmad, Abu Daud)
Betapa Allah swt sangat pemurah kepada hamba-NYA dengan membuka kesempatan menuai pahala begitu lebarnya di bulan yang penuh berkah ini.
3. Bersedekah di bulan Ramadhan lebih dimudahkan.
Salah satu keutamaan bersedekah di bulan Ramadhan adalah bahwa di bulan mulia ini, setiap orang lebih dimudahkan untuk berbuat amalan kebaikan, termasuk sedekah.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada dasarnya manusia mudah terpedaya godaan setan yang senantiasa mengajak manusia meninggalkan kebaikan.
Ringkasnya, walaupun tidak terdapat kelipatan pahala 70 kali lipat pahala ibadah wajib di luar bulan Ramadhan, pada asalnya setiap amal kebaikan, baik di luar maupun di bulan Ramadhan akan dilipatgandakan oleh Allah swt 10 sampai 700 kali lipat.
Berdasarkan hadits:
“Sesungguhnya Allah swt mencatat setiap amal kebaikan dan amal keburukan.”
Subhanallah…………
Ayo jangan tunda lagi,
Yuuuk………….giatkan bersedekah di bulan suci penuh ampunan ini………
Yang didalamnya ada malam seribu bulan.
Wassalamualaikum wr.wb

Amalan Yang Dapat Menambah Pahala Puasa

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Ada suatu amalan di bulan Ramadhan yang mesti kita ketahui bersama demi meraih banyak pahala di bulan tersebut. Amalan tersebut adalah i'tikaf. Bagaimanakah tuntunan Islam dalam menjalankan i'tikaf  di bulan Ramadhan? Berikut panduan ringkas yang semoga bermanfaat bagi para pengunjung sekalian. Semoga Allah senantiasa memberkahi.
I’tikaf secara bahasa berarti menetap pada sesuatu. Sedangkan secara syar’i, i’tikaf berarti menetap di masjid dengan tata cara yang khusus disertai dengan niat.
Dalil Disyari’atkannya I’tikaf
Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa i’tikaf itu sunnah, bukan wajib kecuali jika seseorang mewajibkan bagi dirinya bernadzar untuk melaksanakan i’tikaf.”
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa beri'tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri'tikaf selama dua puluh hari”.
Waktu i’tikaf yang lebih afdhol adalah di akhir-akhir ramadhan (10 hari terakhir bulan Ramadhan) sebagaimana hadits ‘Aisyah, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam beri'tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri'tikaf setelah kepergian beliau.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan malam lailatul qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia, sehingga mudah bermunajat dengan Rabbnya, banyak berdo’a dan banyak berdzikir ketika itu.
I’tikaf Harus Dilakukan di Masjid
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri'tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa disyaratkan melakukan i’tikaf di masjid.” Termasuk wanita, ia boleh melakukan i’tikaf sebagaimana laki-laki, tidak sah jika dilakukan selain di masjid.
I’tikaf Boleh Dilakukan di Masjid Mana Saja
Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri'tikaf dalam masjid”.
Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahihnya, “I’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramdhan dan i’tikaf di seluruh masjid.” Ibnu Hajar menyatakan, “Ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 187) menyebutkan disyaratkannya masjid, tanpa dikhususkan masjid tertentu”.
Para ulama selanjutnya berselisih pendapat masjid apakah yang dimaksud. Apakah masjid biasa di mana dijalankan shalat jama’ah lima waktu ataukah masjid jaami’ yang diadakan juga shalat jum’at di sana?
Imam Malik mengatakan bahwa i’tikaf boleh dilakukan di masjid mana saja (asal ditegakkan shalat lima waktu di sana, pen) karena keumuman firman Allah Ta’ala,
وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
sedang kamu beri'tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Ini juga menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i. Namun Imam Asy Syafi’i rahimahullah menambahkan syarat, yaitu masjid tersebut diadakan juga shalat Jum’at. Tujuannya di sini adalah agar ketika pelaksanaan shalat Jum’at, orang yang beri’tikaf tidak perlu keluar dari masjid.
Kenapa disyaratkan di masjid yang ditegakkan shalat jama’ah? Ibnu Qudamah katakan, “Shalat jama’ah itu wajib (bagi laki-laki). Jika seorang laki-laki yang hendak melaksanakan i’tikaf tidak berdiam di masjid yang tidak ditegakkan shalat jama’ah, maka bisa terjadi dua dampak negatif: (1) meninggalkan shalat jama’ah yang hukumnya wajib, dan (2) terus menerus keluar dari tempat i’tikaf padahal seperti ini bisa saja dihindari. Jika semacam ini yang terjadi, maka ini sama saja tidak i’tikaf. Padahal maksud i’tikaf adalah untuk menetap dalam rangka melaksanakan ibadah pada Allah.”

Yang Membatalkan I’tikaf
  1. Keluar masjid tanpa alasan syar’i dan tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak.
  2. Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah ayat 187. Ibnul Mundzir telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa yang dimaksud mubasyaroh dalam surat Al Baqarah ayat 187 adalah jima’ (hubungan intim)
Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf
  1. Keluar masjid disebabkan ada hajat yang mesti ditunaikan seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang tidak bisa dilakukan di dalam masjid.
  2. Melakukan hal-hal mubah seperti mengantarkan orang yang mengunjunginya sampai pintu masjid atau bercakap-cakap dengan orang lain.
  3. Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya.
  4. Mandi dan berwudhu di masjid.
  5. Membawa kasur untuk tidur di masjid.
Mulai Masuk dan Keluar Masjid
Jika ingin beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka seorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid setelah shalat Shubuh pada hari ke-21 dan keluar setelah shalat shubuh pada hari ‘Idul Fithri menuju lapangan. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Aisyah, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ - قَالَ - فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam biasa beri'tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i'tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa'id) berkata: Kemudian 'Aisyah radhiyallahu 'anha meminta izin untuk bisa beri'tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”
Namun para ulama madzhab menganjurkan untuk memasuki masjid menjelang matahari tenggelam pada hari ke-20 Ramadhan. Mereka mengatakan bahwa yang namanya 10 hari yang dimaksudkan adalah jumlah bilangan malam sehingga seharusnya dimulai dari awal malam.
Adab I’tikaf
Hendaknya ketika beri’tikaf, seseorang menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan seperti berdo’a, dzikir, bershalawat pada Nabi, mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits. Dan dimakruhkan menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat.
Semoga panduan singkat ini bermanfaat bagi pembaca sekalian. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan membuahkan amalan tentunya.
Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
(rumaysho.com)

Puasa Tidak Sekedar Menahan Makan dan Minum

Puasa merupakan ibadah yang sangat dicintai Allah ta'ala. Hal ini sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ. قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: إِلاَّ الصَّوْمَ، فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي

"Setiap amalan anak Adam akan dilipatgandakan pahalanya, satu kebaikan akan berlipat menjadi 10 kebaikan sampai 700 kali lipat. Allah ta’ala berkata: ‘Kecuali puasa, maka Aku yang akan membalas orang yang menjalankannya karena dia telah meninggalkan keinginan-keinginan hawa nafsunya dan makannya karena Aku’." (Shahih, HR. Muslim)

Hadits di atas dengan jelas menunjukkan betapa tingginya nilai puasa. Allah ta’ala akan melipatgandakan pahalanya bukan sekedar 10 atau 700 kali lipat namun akan dibalas sesuai dengan keinginan-Nya Ta'ala. Padahal kita tahu bahwa Allah ta’ala Maha Pemurah, maka Dia tentu akan membalas pahala orang yang berpuasa dengan berlipat ganda.

Hikmah dari semua ini adalah sebagaimana tersebut dalam hadits, bahwa orang yang berpuasa telah meninggalkan keinginan hawa nafsu dan makannya karena Allah Ta'ala. Tidak nampak dalam dzahirnya dia sedang melakukan suatu amalan ibadah, padahal sesungguhnya dia sedang menjalankan ibadah yang sangat dicintai Allah ta’ala dengan menahan lapar dan dahaga. Sementara di sekitarnya ada makanan dan minuman.

Di samping itu dia juga menjaga hawa nafsunya dari hal-hal yang bisa membatalkan puasa. Semua itu dilakukan karena mengharapkan keridhaan Allah Ta’ala dengan meyakini bahwa Allah Ta’ala mengetahui segala gerak-geriknya.

Di antara hikmahnya juga yaitu karena orang yang berpuasa sedang mengumpulkan seluruh jenis kesabaran di dalam amalannya. Yaitu sabar dalam taat kepada Allah Ta'ala, dalam menjauhi larangan, dan di dalam menghadapi ketentuan taqdir-Nya Ta'ala. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُوْنَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

"Sesungguhnya akan dipenuhi bagi orang-orang yang sabar pahala mereka berlipat ganda tanpa perhitungan." (Az-Zumar: 10)

Perlu menjadi catatan penting bahwa puasa bukanlah sekedar menahan diri dari makan, minum dan hal-hal lainnya yang membatalkan puasa. Orang yang berpuasa harus pula menjaga lisan dan anggota badan lainnya dari segala yang diharamkan oleh Allah Ta’ala namun bukan berarti ketika tidak sedang berpuasa boleh melakukan hal-hal yang diharamkan tersebut.

Maksudnya adalah bahwa perbuatan maksiat itu lebih berat ancamannya bila dilakukan pada bulan yang mulia ini, dan ketika menjalankan ibadah yang sangat dicintai Allah Ta'ala. Bisa jadi seseorang yang berpuasa itu tidak mendapatkan faidah apa-apa dari puasanya kecuali hanya merasakan haus dan lapar. Na’udzubillahi min dzalik.

Untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh orang yang berpuasa agar mendapatkan balasan dan keutamaan-keutamaan yang telah Allah ta’ala janjikan. Diantaranya:

1. Setiap muslim harus membangun ibadah puasanya di atas iman kepada Allah Ta’ala dalam rangka mengharapkan ridha-Nya, bukan karena ingin dipuji atau sekedar ikut-ikutan keluarganya atau masyarakatnya yang sedang berpuasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

"Barang siapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah Ta'ala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (Muttafaqun ‘alaih)

2. Menjaga anggota badannya dari hal-hal yang diharamkan Allah k, seperti menjaga lisannya dari dusta, ghibah, dan lain-lain. Begitu pula menjaga matanya dari melihat orang lain yang bukan mahramnya baik secara langsung atau tidak langsung seperti melalui gambar-gambar atau film-film dan sebagainya. Juga menjaga telinga, tangan, kaki dan anggota badan lainnya dari bermaksiat kepada Allah Ta'ala.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

"Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatannya, maka Allah Ta’ala tidak peduli dia meninggalkan makan dan minumnya." (Shahih HR. Al-Bukhari no. 1804)

Maka semestinya orang yang berpuasa tidak mendatangi pasar, supermarket, mal, atau tempat-tempat keramaian lainnya kecuali ada kebutuhan yang mendesak. Karena biasanya tempat-tempat tersebut bisa menyeretnya untuk mendengarkan dan melihat perkara-perkara yang diharamkan Allah Ta'ala. Begitu pula menjauhi televisi karena tidak bisa dipungkiri lagi bahwa efek negatifnya sangat besar baik bagi orang yang berpuasa maupun yang tidak berpuasa.

3. Bersabar untuk menahan diri dan tidak membalas kejelekan yang ditujukan kepadanya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah radiyallahu 'anhu:

الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ يَوْمَئِذٍ وَلاَ يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ

"Puasa adalah tameng, maka apabila salah seorang dari kalian sedang berpuasa janganlah dia berkata kotor dan janganlah bertengkar dengan mengangkat suara. Jika dia dicela dan disakiti maka katakanlah saya sedang berpuasa." (Shahih, HR. Muslim)

Dari hadits tersebut bisa diambil pelajaran tentang wajibnya menjaga lisan. Apabila seseorang bisa menahan diri dari membalas kejelekan maka tentunya dia akan terjauh dari memulai menghina dan melakukan kejelekan yang lainnya.

Sesungguhnya puasa itu akan melatih dan mendorong seorang muslim untuk berakhlak mulia serta melatih dirinya menjadi sosok yang terbiasa menjalankan ketaatan kepada Allah k. Namun mendapatkan hasil yang demikian tidak akan didapat kecuali dengan menjaga puasanya dari beberapa hal yang tersebut di atas.

Puasa itu ibarat sebuah baju. Bila orang yang memakai baju itu menjaganya dari kotoran atau sesuatu yang merusaknya, tentu baju tersebut akan menutupi auratnya, menjaganya dari terik matahari dan udara yang dingin serta memperindah penampilannya. Demikian pula puasa, orang yang mengamalkannya tidak akan mendapatkan buah serta faidahnya kecuali dengan menjaga diri dari hal-hal yang bisa mengurangi atau bahkan menghilangkan pahalanya.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber: Ceramah dan tanya jawab Masyayikh Salafiyyin (Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz t, Asy-Syaikh Muhammad Al-’Utsaimin rahimahullah dan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah)

(Dikutip dari tulisan Al Ustadz Saifudin Zuhri, Lc. Judul asli Puasa Tidak Sekedar Menahan Makan dan Minum. URL Sumber http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=300)

HUKUM TIDUR SEPANJANG SIANG HARI DI BULAN RAMADHAN



Soal :
“ Apakah hukum orang yang tidur sepanjang siang hari dibulan Ramadhan, ia tidak bangun kecuali ketika saat berbuka ?”

Jawab :
Orang yang tidur sepanjang siang hari dibulan Ramadhan, puasanya tetap sah jika memang sebelum terbit fajar dia telah berniat puasa. Akan tetapi, haram atasnya meninggalkan shalat-shalat (disepanjang siang itu) dan meninggalkan shalat berjamaah jika dia termasuk golongan yang wajib shalat berjama’ah di masjid.

(Jika dia melakukan itu), berarti dia telah meninggalkan dua kewajiban (yakni kewajiban puasa dan shalat), dia sangat berdosa karena meninggalkan keduanya. Kecuali jika perbuatan seperti itu bukan kebiasaannya, artinya sangat jarang dia melakukannya, dan dia pun tetap berniat mengerjakan shalat.

Berkaitan dengan itu pula, sungguh sangat di sayangkan bahwa banyak orang yang membiasakan diri begadang sepanjang malam di bulan Ramadhan, lalu ketika telah dekat waktu terbit fajar, mereka segera makan sahur kemudian tidur sepanjang siangnya. (Dengan keadaan seperti itu), mereka meninggalkan sholat-sholat di waktu siang, padahal sholat lebih di tekankan dan lebih di wajibkan daripada puasa, bahkan tidak sah puasa orang yang tidak shalat ! Perkara ini sangat berbahaya sekali.

Begadang (di waktu malam) yang menyebabkan pelakunya tertidur sehingga tidak mengerjakan sholat (di waktu siang) adalah begadang yang haram. Kemudian jika begadang itu hanya untuk main-main atau untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang di haramkan, maka perkaranya jadi lebih berbahaya lagi.

Perbuatan-perbuatan maksiat dosanya lebih besar dan bahanya lebih kuat (jika dikerjakan) pada bulan Ramadhan. Begitu pula pada saat-saat dan tempat-tempat yang (pandang) mulia (dalam ajaran agama), lebih kuat daripada selainnya.
Wallahu a’lam.

Maroji’ :
Al-Muntaqo min Fatawa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan (3/243).

Sumber : BULETIN DAKWAH AT-TASHFIYYAH, Surabaya Edisi : 20 / Sya’ban / 1425 H

Adab-Adab Berpuasa

A. Makan Sahur

Orang yang berpuasa sangat dianjurkan untuk makan sahur. Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Amru bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحُوْرِ

“Perbedaan antara puasa kami dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim)

Dari Salman radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

الْبَرَكَةُ فِيْ ثَلاَثَةٍ: الْجَمَاعَةِ وَالثَّرِيْدِ وَالسَّحُوْرِ

“Berkah ada pada 3 hal: berjamaah, tsarid (roti remas yang direndam dalam kuah), dan makan sahur.” (HR. Ath-Thabrani, 6/251, dengan sanad yang hasan dengan penguatnya, lihat Shifat Shaum An-Nabi oleh Ali Al-Halabi, hal. 44)

Disukai untuk mengakhirkan makan sahur berdasarkan hadits Anas dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

Kami makan sahur bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kemudian beliau bangkit menuju shalat. Aku (Anas) bertanya: “Berapa jarak antara adzan1 dan sahur?” Beliau menjawab: “Kadarnya (seperti orang membaca) 50 ayat.” (Muttafaqun ‘alaih)

Namun apa yang diistilahkan oleh kebanyakan kaum muslimin dengan istilah imsak, yaitu menahan (tidak makan) beberapa saat sebelum adzan Shubuh adalah perbuatan bid’ah karena dalam ajaran nabi shallallahu alaihi wasallam tidak ada imsak (menahan diri) kecuali bila adzan fajar dikumandangkan. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِذَا أَذَّنَ بِلاَلٌ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍِ

“Apabila Bilal mengumandangkan adzan (pertama), maka (tetap) makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” (Muttafaqun ‘alaih)

Bahkan bagi orang yang ketika adzan dikumandangkan masih memegang gelas dan semisalnya untuk minum, diberikan rukhshah (keringanan) khusus baginya sehingga dia boleh meminumnya.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِذَ سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءُ وَاْلإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ

“Jika salah seorang kalian mendengar panggilan (adzan) sedangkan bejana (minumnya) ada di tangannya, maka janganlah dia meletakkannya hingga menunaikan keinginannya dari bejana (tersebut).” (HR. Ahmad dan Abu Dawud dan dihasankan oleh Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah dalam Al-Jami’ Ash-Shahih, 2/418-419)

Hukum makan sahur adalah sunnah muakkadah. Berkata Ibnul Mundzir: “Umat ini telah bersepakat bahwa makan sahur hukumnya sunnah dan tidak ada dosa bagi yang tidak melakukannya berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً

“Makan sahurlah, karena sesungguhnya pada makan sahur itu ada barakahnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dianjurkan makan sahur dengan buah kurma jika ada, dan boleh dengan yang lain berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

نِعْمَ السَّحُوْرِ الْمُؤْمِنِ التَّمْرُ

“Sebaik-baik sahur seorang mukmin adalah buah kurma.” (HR. Abu Dawud, 2/2345, dan Ibnu Hibban, 8/3475, Al-Baihaqi, 4/236, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah)

Jika seseorang ragu apakah fajar telah terbit atau belum, maka boleh dia makan dan minum sampai dia yakin bahwa fajar telah terbit.

Firman Allah subhanallahu wata’ala:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“Makan dan minumlah kalian hingga jelas bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar ….” (Al-Baqarah: 187)

Berkata As-Sa’di rahimahullah: “Padanya terdapat (dalil) bahwa jika (seseorang) makan dan semisalnya dalam keadaan ragu akan terbitnya fajar maka (yang demikian) tidak mengapa.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman hal. 87)

B. Berbuka Puasa

Orang yang berpuasa dianjurkan untuk mempercepat berbuka jika memang telah masuk waktu berbuka. Tidak boleh menundanya meski ia merasa masih kuat untuk berpuasa. ‘Amr bin Maimun Al-Audi meriwayatkan:

كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْجَلَ النَّاسِ إِفْطًارًا وَأَبْطَأَهُمْ سُحُوْرًا

“Para shahabat Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah orang yang paling cepat berbukanya dan paling lambat sahurnya.” (HR. Al-Baihaqi, 4/238, dan Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menshahihkan sanadnya)

Berkata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah:

“Cepat-cepat berbuka puasa (dianjurkan) bila telah terbenam matahari, bukan karena adzan. Namun di waktu sekarang (banyak) manusia menyesuaikan adzan dengan jam-jam mereka. Maka bila matahari telah terbenam boleh bagi kalian berbuka walaupun muadzdzin belum mengumandangkan adzan.” (Asy-Syarh Al-Mumti’)

Buka puasa dilakukan dalam keadaan ia mengetahui dengan yakin bahwa matahari telah terbenam. Hal ini bisa dilakukan dengan melihat di lautan dan semisalnya. Adapun hanya sekedar menduga dengan kegelapan dan semisalnya, maka bukan dalil atas terbenamnya matahari. Wallahu a’lam.

Mempercepat buka puasa adalah mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

لاَ تَزَالُ أُمَّتِيْ عَلَى سُنَّتِيْ مَا لَمْ تَنْتَظِرْ بِفِطْرِهَا النُّجُوْمَ

“Senantiasa umatku berada di atas Sunnahku selama mereka tidak menunggu (munculnya) bintang ketika hendak berbuka.” (HR. Al-Hakim, 1/599, Ibnu Hibban, 8/3510, dengan sanad yang shahih. Lihat Shifat Shaum An-Nabi hal. 63)

Mempercepat berbuka puasa akan mendatangkan kebaikan bagi pelakunya. Seperti yang diriwayatkan Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الفِّطْرَ

“Senantiasa manusia berada dalam kebaikan selama mereka mempercepat buka puasa.” (HR. Al-Bukhari, 2/1856, dan Muslim, 2/1098)

Mempercepat berbuka puasa adalah perbuatan menyelisihi Yahudi dan Nashara. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

لاَ يَزَالُ هَذَا الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ لأَنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَ

“Senantiasa agama ini nampak jelas selama manusia mempercepat buka puasa karena Yahudi dan Nashara mengakhirkannya.” (HR. Abu Dawud, 2/2353, Ibnu Majah, 1/1698, An-Nasai dalam Al-Kubra, 2/253, dan Ibnu Hibban, 8/3503, dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah)

Selain itu, mempercepat buka puasa termasuk akhlak kenabian. Sebagaimana dikatakan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

ثَلاَثٌ مِنْ أَخْلاَقِ النُّبُوَّةِ: تَعْجِيْلُ اْلإِفْطَارِ وَالتَّأْخِيْرُ السُّحُوْرِ وَوَضْعُ الْيَمِيْنِ عَلَى الشِّمَالِ فِي الصَّلاَةِ

“Tiga hal dari akhlak kenabian: mempercepat berbuka, mengakhirkan sahur, dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat.” (HR. Ad-Daruquthni, 1/284, dan Al-Baihaqi, 2/29)

Orang harus berbuka puasa lebih dahulu sebelum shalat Maghrib, berdasarkan hadits Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berbuka puasa sebelum shalat (Maghrib) dan makanan yang paling dianjurkan untuk berbuka puasa adalah kurma. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى رُطَبَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٍ فَتُمَيْرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تُمَيْرَاتٍ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

“Adalah Nabi shallallahu alaihi wasallam berbuka dengan ruthab (kurma muda) sebelum shalat (Maghrib), bila tidak ada ruthab maka dengan tamr (kurma yang matang), bila tidak ada maka dengan beberapa teguk air.” (HR. Abu Dawud, 2/2356, dan At-Tirmidzi, 3/696, Ad-Daruquthni, 2/185, dengan sanad yang shahih, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah)

Jangan lupa, berdoa sebelum berbuka puasa dengan doa:

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى

“Telah hilang dahaga dan telah basah urat-urat dan telah tetap pahala insya Allah subhanallahu wata’ala.” (HR. Abu Dawud, 2/306 no. 2357, An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra, 2/255, Ad-Daruquthni, 2/185, Al-Baihaqi, 4/239, dari hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anha dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah)

Orang yang menjalankan ibadah puasa diharuskan menjauhkan perkataan dusta sebagaimana yang terdapat dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, maka tidak ada keinginan Allah pada puasanya” (HR. Bukhari no. 1804)

1 Yang dimaksud adalah iqomah, karena terkadang iqomah disebut adzan, wallahu a’lam. Yang dimaksud dengan sahur adalah akhir waktu sahur yaitu ketika masuk waktu shubuh, sebagaimana akan lebih jelas pada artikel ‘Sahur dan Berbuka’, -red.

Pembatal Puasa

a. Makan dan minum dengan sengaja

Allah subhanallahu wata’ala berfirman:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam dari fajar kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam.” (Al-Baqarah: 187)

Namun jika seseorang lupa maka puasanya tidak batal, berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

إِذَا نَسِيَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ

“Jika ia lupa lalu makan dan minum maka hendaklah dia sempurnakan puasanya karena sesungguhnya Allah yang memberinya makan dan minum.” (HR. Al-Bukhari no. 1831 dan Muslim no. 1155)

b. Keluar darah haidh dan nifas

Hal ini sebagaimana dikatakan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

“Adalah kami mengalami (haidh), maka kami diperintahkan untuk meng-qadha puasa dan tidak diperintahkan meng-qadha shalat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Para ulama telah sepakat dalam perkara ini.

c. Melakukan hubungan suami istri di siang hari Ramadhan

Hal ini berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah, dan kesepakatan para ulama. Bagi yang melakukannya diharuskan membayar kaffarah yaitu membebaskan budak, bila tidak mampu maka berpuasa dua bulan secara terus-menerus, dan bila tidak mampu juga maka memberi makan 60 orang miskin. Tidak ada qadha baginya menurut pendapat yang kuat. Hukum ini berlaku secara umum baik bagi laki-laki maupun perempuan.

Adapun bila seseorang melakukan hubungan suami istri karena lupa bahwa dia sedang berpuasa, maka pendapat yang kuat dari para ulama adalah puasanya tidak batal, tidak ada qadha dan tidak pula kaffarah. Hal ini sebagaimana hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِ وَلاَ كَفَّارَةَ

“Barangsiapa yang berbuka sehari di bulan Ramadhan karena lupa, maka tidak ada qadha atasnya dan tidak ada kaffarah (baginya).” (HR. Al-Baihaqi, 4/229, Ibnu Khuzaimah, 3/1990, Ad-Daruquthni, 2/178, Ibnu Hibban, 8/3521, dan Al-Hakim, 1/595, dengan sanad yang shahih)

Kata ifthar mencakup makan, minum dan bersetubuh. Inilah pendapat jumhur ulama dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Asy-Syaukani rahimahumallah.

d. Berbekam

Ini termasuk perkara yang membatalkan puasa menurut pendapat yang rajih, berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُوْمُ

“Telah berbuka (batal puasa) orang yang berbekam dan yang dibekam.” (HR. At-Tirmidzi, 3/774, Abu Dawud, 2/2367;2370;2371, An-Nasai, 2/228, Ibnu Majah no. 1679,dan lainnya)

Hadits ini shahih dan diriwayatkan dari kurang lebih 18 orang shahabat dan dishahihkan oleh para ulama seperti Al-Imam Ahmad, Al-Bukhari, Ibnul Madini dan yang lainnya. Ini merupakan pendapat Al-Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahuyah serta dikuatkan oleh Ibnul Mundzir.

Ada beberapa perkara lain yang juga disebutkan sebagian para ulama bahwa hal tersebut termasuk pembatal puasa, di antaranya:

a. Muntah dengan sengaja

Namun yang rajih dari pendapat ulama bahwa muntah tidaklah membatalkan puasa secara mutlak sengaja atau tidak sengaja. Sebab asal puasa seorang muslim adalah sah, tidaklah sesuatu itu membatalkan kecuali dengan dalil. Adapun hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِ وَمَنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ

“Barangsiapa yang dikalahkan oleh muntahnya maka tidak ada sesuatu atasnya dan barangsiapa yang sengaja muntah maka hendaklah dia meng-qadha (menggantinya).” (HR. Ahmad, 2/498, At-Tirmidzi, 3/720, Abu Dawud, no. 2376 dan 2380, Ibnu Majah no. 1676)

Hadits ini dilemahkan oleh para ulama, di antaranya Al-Bukhari dan Ahmad. Juga dilemahkan oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah.

Namun jika muntah tersebut keluar lalu dia sengaja memasukkannya kembali maka hal ini membatalkan puasanya.

b. Menggunakan cairan penngganti makanan seperti infus

Terjadi perselisihan di kalangan para ulama, dan yang rajih bahwa suntikan terbagi menjadi dua bagian:

1). Suntikan yang kedudukannya sebagai pengganti makanan maka hal ini membatalkan puasanya, sebab nash-nash syari’at bila didapatkan pada sesuatu yang termasuk dalam penggambaran yang sama maka dihukumi sama seperti yang terdapat dalam nash.

2).Suntikan yang tidak berkedudukan sebagai pengganti makanan, maka hal ini tidaklah membatalkan puasa sebab gambarannya tidak seperti yang terdapat dalam nash baik lafadz maupun makna, tidak dikatakan makan dan tidak pula minum dan tidak pula termasuk dalam makna keduanya. Dan asalnya adalah sahnya puasa seorang muslim sampai meyakinkan pembatalnya berdasarkan dalil yang syar’i. (lihat fatwa Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam Fatawa Islamiyyah: 2/130, fatwa Asy-Syaikh Bin Baaz rahimahullah dalam Fatawa Ramadhan: 2/485, dan Fatwa Lajnah Da’imah: 2/486, dan fatwa Syaikhul Islam rahimahullah dalam Haqiqotus Shiyam: 54-60).

Namun Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah menasehatkan bagi orang yang sakit untuk berbuka dan tidak berpuasa agar tidak terjatuh ke dalam sesuatu yang menimbulkan syubhat. (Min Fatawa Ash-Shiyaam: 6)

c. Onani

Pendapat yang rajih dari pendapat para ulama bahwa onani tidaklah membatalkan puasa, namun termasuk perbuatan dosa yang diharamkan melakukannya baik ketika berpuasa maupun tidak. Allah subhanallahu wata’ala berfirman menyebutkan di antara ciri-ciri orang mukmin:

وَالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حَافِظُوْنَ. إِلاَّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَ. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُوْنَ

“Dan (mereka adalah) orang yang memelihara kemaluannya, kecuali kepada istri-istrinya atau budak wanita yang mereka miliki. Maka sesungguhnya (hal itu) tidak tercela. Maka barangsiapa yang mencari selain itu, mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Mu’minun: 5-7)

Hal-Hal yang Diperbolehkan Bagi Orang yang Berpuasa

a. Bersiwak

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

لَوْ لاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ

“Jika aku tidak memberatkan umatku, niscaya akan kuperintahkan mereka bersiwak setiap hendak shalat.” (Muttafaq ‘alaih)

b. Masuknya waktu fajar dalam keadaan junub

Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam mendapati waktu fajar dalam keadaan junub setelah (bersetubuh dengan) istrinya, kemudian beliau mandi dan berpuasa. (Muttafaq ‘alaihi)

c. Berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung asal tidak berlebihan

Laqith bin Shabirah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

وَبَالِغْ فِي اْلإِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا

“Dan bersungguh-sungguhlah kalian dalam ber-istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung) kecuali bila kalian berpuasa.” (HR. Abu Dawud, 1/132, dan At-Tirmidzi, 3/788, An-Nasai, 1/66, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah)

d. Menggauli istri selain bersetubuh

Sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencium (istrinya) dan beliau berpuasa, menggaulinya (bukan jima’) dan beliau berpuasa.” (Muttafaqun ‘alaihi)

e. Mencicipi makanan dan menciumnya asal tidak memasukkan ke dalam kerongkongannya

Berkata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anha:

“Tidak mengapa seseorang mencicipi cuka atau sesuatu (yang lain) selama tidak masuk kerongkongannya dalam keadaan dia berpuasa.” (Diriwayatkan Al-Bukhari secara mu’allaq dan disambung sanadnya oleh Ibnu Abi Syaibah dan Al-Baihaqi)

f. Mandi di siang hari

Sebagaimana yang terdapat pada kisah junub Nabi shallallahu alaihi wasallam yang telah lalu.

Perbuatan yang Dianjurkan di bulan Ramadhan

a. Memperbanyak shadaqah

b. Memperbanyak bacaan Al Qur’an, dzikir, doa, dan shalat

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anha meriwayatkan:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُوْنُ فِيْ رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ

“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan ketika Jibril menemuinya lalu membacakan padanya Al Qur`an.” (HR. Al-Bukhari)

c. Memberikan makan kepada orang yang berbuka puasa

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

“Barangsiapa yang memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya seperti pahala (yang berpuasa) dalam keadaan tidak berkurang sedikitpun dari pahala orang yang berpuasa itu.” (HR. Ahmad, 4/114, At-Tirmidzi, 3/807, Ibnu Majah, 1/1746, Ad-Darimi no. 1702, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih At-Tirmidzi).

Wallahul muwaffiq.

http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=296